Seorang murid SMP didaerah saya kecewa karena guru itu kebanyakan mengajarkan hal-hal yang buruk. Seperti bagaimana menampar muka orang dengan sempurna, itu biasa. Ada yang luar biasa, seorang guru membuat melayang vas bunga di mejanya dan jatuh menerpa tembok disamping salah seorang muridnya, pecahan kaca vas bunga itu mengenai kepala sang murid hingga darah keluar dari kepalanya. Masih ada lagi, seorang guru yang kecewa karena muridnya buat bising dalam kelas, bangku kosong dibuat sang guru menabrak tembok akibatnya sebagian kayu mengenai salah satu muridnya hingga berdarah. Salah siapa ini?
Tapi coba dengan cerita nyata ini. Dua murid kakak beradik yang melakukan kesalahan sampai berani menantang gurunya. Sang guru yang kesal ini kemudian memukuli murid tersebut. Sang murid kecewa dan melaporkan kejadian itu pada orang tuanya. Warga yang sekaligus tentangganya yang mendengar cerita murid tersebut kesal dan beramai-ramai pergi ke sekolah untuk membuat perhitungan. Warga dan orang tua sang murid tidak banyak bicara, seseorang staf TU yang disangka guru yang memukuli kedua murid tersebut dihakimi masa dengan mengeroyok seorang staf TU itu. Setelah puas, masa meninggalkan korban yang tergeletak lemas.
Nah salah siapa ini? Guru yang memukuli muridnya, kedua murid yang itu kah, atau warga yang kesal dengan sikap sang guru? Siapa yang harus minta maaf???
Belum etis rasanya kedua murid tersebut meminta maaf kepada staf TU yang dikeroyok warganya dan kepada sang guru yang kejam memukuli muridnya, atau apalagi sang guru yang meminta maaf kepada muridnya itu, oh bukan, mungkin itu terlalu rendah, maksudnya sang guru meminta maaf kepada orang tua murid, tapi kalau orang tua meminta maaf kepada staf TU itu dan kepada guru yang memukuli anaknya bagaimana? Lebih etis kah? Nyatanya orang tua murid itu yang terlebih dahulu meminta maaf, bahkan permintaan maaf itu dilakukan dihadapan semua murid dan semua staf pengajar termasuk kepsek dan staf TU. Saya termasuk yang bingung dibuatnya.
Kalau saja orang tua murid itu melaporkan kepada pihak polisi, mungkin tuntutannya akan dikabulkan. Toh banyak mantan guru yang sekarang hidup disel tahanan.
Kejadian itu mungkin tragis. Tapi coba cerita ini, sepele namun timbul banyak masalah. Karena murid membuat bising dikelas, guru yang saat itu sedang mengajar menjadi kesal. Sang guru akhirnya menghukum semua muridnya. Semua siswa disuruh menanggalkan pakaiannya (bagian atas) dan berlari mengelilingi lapangan setelah itu berjemur selama 15 menit tanpa baju. Sedangkan siswi dihukum berjemur di lapangan selama 10 menit. Kalau kita tinjau, seandainya UU anti pornografi dan porno aksi diresmikan, tindakan menghukum dengan menanggalkan pakaian itu dilarang dan seandainya mereka itu siswa SMA pasti malu, untunglah mereka siswa SMP yang rata-rata belum dewasa dan UU tentang porno pun masih menggunakan UU yang lama. Tapi coba kita rasakan betapa militerisme masih ada di pendidikan kita ini. Bukan hanya di STPDN atau IPDN atau sekolah yang lain. Toh murid SMP pun sudah merasakan apa itu militerisme.
Sekiranya memang guru itu pahlawan tanpa tanda jasa, mengapa bisa membuat murid seakan-akan belajar disekolah itu dijajah? Penuh kekerasan yang dikatakan itu biasa? Belum tentu murid yang lain bisa menerima ketika melihat kawannya dipukul atau ditampar? Bisa jadi murid yang melihat kejadian itu justru merasa takut atau bahkan benci kepada guru itu. Kalau memang guru itu orang tua di sekolah, bukan sepantasnya semena-mena. Buat apa ada guru BP? Kalau bisa diselesaikan dengan ditampar atau dipukul? Kalau kita belajar dengan rasa benci kepada pengajarnya, bagaimana kita bisa menerima ilmu tersebut. Kalau kita seakan-akan sekolah itu rumah sendiri, betah dengan guru yang baik, selalu menasehati muridnya, tidak ada kekerasan, dan tata tertib atau peraturan sekolah ditegakan dengan hukuman yang tidak militeristik atau yang berbau kekerasan tapi tegas, mungkin sekolah itu akan mempu mencetak murid yang berprestasi. Kenapa? Karena tidak semua murid kesekolah itu untuk belajar. Tapi kalau kita membuat suasana belajar itu terutama aman, nyaman, dan santai. Pasti murid akan berusaha betah di sekolah itu.
Tapi mungkin itu terlalu jauh dari kita. Sekolah itu tempat belajar dan belajar. Mana mungkin guru mau merubah sikap muridnya. Toh itu urusan orang tuanya. Tapi cobalah untuk tidak menganut kekerasan dalam pendidikan. Kecuali memang mendidik calon tentara atau polisi yang memang bekerja menentang kekerasan.
Dalam pendidikan, sepatutnya kita lebih prihatin. Kunci generasi masa depan ada dalam pendidikan. Apakah kita akan diam bila kekerasan dalam pendidikan masih terus merebak?
-
Saya harapkan komentar dari Anda. Terimakasih.